Rabu, 12 November 2008

Modifikasi War Game, Gamer Surabaya Rancang Setting Perang 10 Nopember


Dilengkapi Pidato Asli Bung Tomo, Disisipi Dialek Suroboyoan
Memperkenalkan sejarah tak hanya melulu lewat buku atau museum. Tiga pria asal Surabaya ini mereka ulang kisah
heroik perang 10 Nopember 1945 melalui modifikasi game perang (war game). Perburuan data menjadi bagian tersulit.
IGNA ARDIANI A.
DICKY Octavira, 37, sudah lama mengintimi Close Combat. Kalau sudah memainkan game perang itu di komputer, staf
IT Radio Star FM tersebut sering lupa waktu. “Saya seperti kecanduan game itu. Saya sangat menyukai game bersetting
perang di Eropa,” ujar pria berkulit putih itu.
Close Combat merupakan jenis Real Time War Game, sebuah game simulasi perang berdurasi 15-30 menit.
Penggemarnya mayoritas berusia 30 hingga 50 tahun yang menyukai atmosfer militer. “Software game itu dipakai
beneran oleh marinir AS dan Angkatan Laut Inggris,” ujar Dicky ketika ditemui di sebuah kafe di pusat kota, Senin lalu.
Dia menjelaskan, Close Combat sedikit berbeda dari game RTS (real time strategy) umumnya. Sebab, untuk
memainkannya, gamers tak harus menyusun markas atau benteng lebih dulu, tapi langsung menentukan lokasi
peperangan, memilih pasukan, dan bertempur melawan tentara musuh.
Versi orisinal game itu mulai masuk ke Indonesia sekitar 2001. Game tersebut berlatar belakang Perang Dunia II yang
mengisahkan pendaratan tentara sekutu di Prancis untuk melawan tentara Jerman.
Setahun berselang, Dicky mulai melihat banyak komunitas yang memodifikasi game tersebut. “Mereka mengubah
lokasi peperangannya,” katanya.
Tidak lagi di Prancis, tapi bisa di Uni Soviet, Afrika, atau negara lain sesuai keinginan si gamer. Karena lokasi
berpindah, otomatis tentara yang berperang ikut diubah. Jika lokasi yang dipilih adalah Uni Soviet, yang berperang tentu
tentara Rusia dan Amerika. “Bukan lagi sekutu melawan Jerman,” ujarnya.
Melihat tren itu, muncul ide di kepala Dicky untuk membuat game dengan setting perang kemerdekaan di Indonesia. Dia
memilih perang 10 Nopember 1945 di Surabaya. “Kedahsyatan perang itu bisa dibilang sudah melegenda. Gelegarnya
pun tak kalah dari perang-perang besar di Eropa. Seru juga jika dibuat versi game-nya,” ungkapnya.
Lewat game tersebut, Dicky juga berharap generasi muda masa kini mengenal siapa saja pahlawan yang berjasa
dalam perang tersebut.
Demi mewujudkan ide itu, Dicky mengontak Yusuf, salah seorang rekan yang kebetulan sama-sama bergerak di bidang
grafis dan pencinta Close Combat.
Namun, rencana mereka sedikit terhambat lantaran terbentur bidang pemograman. “Latar pendidikan saya adalah
desain grafis. Untuk game itu, saya mungkin bisa membuat animasi dan tampilannya. Tapi, untuk memodifikasi data
programnya, saya menyerah,” ungkapnya.
Dia lantas menghubungi teman yang lain yang bernama Gregorius Satia Budhi. “Dia jago program. Kebetulan, Greg
ternyata seide dengan saya. Jadilah kami jalan bertiga,” ujar Dicky.
Karena berlatar sejarah, mereka tidak ingin asal-asalan membuat game. Dicky dkk berburu referensi sejarah untuk
membuat game berjudul Battle of Surabaya 45 itu seotentik mungkin. Misalnya, pasukan mana saja yang terlibat dalam
perang itu. Atau, senjata apa yang dipakai serta informasi lain. “Kami memanfaatkan internet, buku-buku sejarah,
sampai ke museum,” jelas Greg -panggilan akrab Gregorius.
“Data historis itu berguna untuk menentukan tim-tim yang akan berperang,” kata pria yang didapuk sebagai leader
pengumpul data sejarah tersebut.
Menurut Dicky, di antara mereka bertiga, Greg paling getol mendalami sejarah Indonesia.
Pekerjaan itu tidak mudah. Sebagian besar data pasukan tentara Indonesia terpencar, sehingga sulit ditelusuri. “Ada
kalanya antara buku sejarah yang satu dengan yang lain memuat data yang tidak sama,” ungkap Greg, 36.
Dia mencontohkan, dalam salah satu buku disebutkan, tentara TKR yang ikut bertempur berjumlah 10 orang. Namun,

pada buku lain ditulis 20 orang. “Akhirnya, daripada bingung, kami mengambil data yang terbanyak saja.”
Berbeda dari data pasukan Inggris. Melalui internet, sudah bisa didapatkan data lengkap mulai jumlah orang dalam
satu batalyon, siapa saja namanya, hingga senjata yang digunakan. Semua jelas.
“Kalau tentara Indonesia, semua serba nggak pasti. Dalam satu batalyon yang berisi 700 orang, misalnya, bisa jadi
yang tentara asli hanya 100 orang. Sisanya pemuda kampung. Itulah yang membuat data-data sulit dipastikan,” ujar
Greg, dosen Teknologi Informasi di Universitas Kristen Petra itu.
Selain pasukan yang berperang, keotentikan game didukung oleh kostum, tanda pangkat, hingga suara. “Ikon-ikon
penting seperti Bung Tomo, Brigjen Mallaby, atau Mayjen Sungkono juga kami buat semirip mungkin seperti asli. Ada
pula pidato asli Bung Tomo ketika menyerukan perlawanan terhadap tentara sekutu,” jelas Dicky.
Semua itu berkat kerja sama mereka dengan komunitas re-enacment, sebuah komunitas pencinta sejarah. Dicky dkk
dibantu Andhika Estiyono, salah seorang anggota komunitas tersebut yang juga dosen Desain Produk Industri ITS.
Selain berhasil mendapatkan rekaman suara asli Bung Tomo, mereka memperoleh data tentang contoh seragam,
emblem, hingga senjata tentara pejuang kemerdekaan Indonesia dan Inggris kala itu. “Untuk tentara Indonesia,
suaranya di-dubbing dalam bahasa Indonesia. Kalau pas kalah atau diserang mundur, tentaranya bakal misuh-misuh
menggunakan bahasa Suroboyoan,” ungkapnya.
Bagian tersulit dalam pengerjaan game tersebut adalah mengumpulkan peta foto Surabaya pada era 1945-an. “Sekali
lagi, akhirnya kami mengira-ngira peta Surabaya tempo dulu berdasar buku-buku sejarah,” ujar Greg. Peta Surabaya
masa kini diubah menjadi tempo dulu.
Proyek tersebut dikerjakan secara terpisah sesuai job description. Maklum, ketiganya sama-sama sibuk pada pekerjaan
masing-masing di lokasi yang saling berjauhan. Dicky bekerja di Pandaan, Gregorius berprofesi sebagai dosen UK
Petra Surabaya, dan Yusuf di Bandung. “Saya, misalnya, bertugas membuat data, mengumpulkan story. Dicky dan
Yusuf di bagian animasi serta tampilan,” jelas Greg.
Mereka saling bertukar data melalui e-mail. Mereka jarang kumpul bareng. “Tapi, kalau pas sudah bertemu, kami malah
nggak ngapa-ngapain. Ngobrol yang lain,” ungkap Dicky lantas tertawa. “Bisa jadi, karena dikerjakan sesempatnya,
proyek ini belum kelar sampai sekarang.”
Mereka bertiga start sejak 10 November tahun lalu. Sekarang baru selesai sekitar 70 persen. “Idealnya, proyek tersebut
selesai 10 November tahun ini. Nggak tahu lagi kalau molor.”
Begitu tuntas dikerjakan, game tersebut akan langsung di-upload di internet. Semua orang bebas men-download.
Untuk memainkannya, tetap dibutuhkan CD installer game Close Combat 5: Invasion Normandy. “Itu sebagai langkah
studi banding. Ketika semua sudah nyoba, pasti bakal ada kritik dan saran. Dari situ, kami akan menyempurnakan lagi,”
kata Dicky.
Ada juga rencana mendemokan game tersebut di museum-museum Surabaya. “Jarang ada game berbahasa Indonesia
dengan bahasa Suroboyoan pula.”
Mengapa tidak dikomersialkan? “Nggak semudah itu. Game tersebut bukan karya orisinal. Kami nge-hack dari game
lain, terus kami rombak. Kalau dijual, bakal jadi masalah nanti,” tegas Dicky.
Setelah Battle of Surabaya 45 selesai, Dicky dkk akan membuat game seri perang kemerdekaan Indonesia lainnya.
Tak melulu peperangan yang terjadi di Surabaya, tapi juga perang kemerdekaan di daerah lain. “Mungkin nanti kami
membuat game perang 5 Jam di Jogja atau perang Puputan di Bali. Yang penting, kita cari peta lokasinya dulu, baru(ujar Dicky/www.invidiousclub.com/admin/gc)

Sabtu, 08 November 2008

Catatan Akhir Tahun 2007, Guru Gagal Sertifikasi Selalu Lebih 50 Persen Desember 31, 2007

pgrinews> Jebloknya hasil Ujian Nasional (Unas) siswa Surabaya tidak hanya karena faktor siswa. Faktor rendahnya sumber daya manusia (SDM) guru juga disorot jadi pemicunya. Ini terutama setelah masyarakat mengetahui jebloknya hasil sertifikasi dan uji kompetensi guru di Surabaya. Ironis dan Tragis. Inilah kalimat yang tepat menggambarkan jebloknya hasil sertifikasi guru di Surabaya. Mengajar di ibu kota provinsi dan dekat dengan pusat pemerintahan daerah ternyata tak menjadikan ‘para Oemar Bakri’ ini mau meningkatkan kemampuan dan kompetensinya. Padahal semua syarat untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi tersedia. Mulai memadainya sarana infrastruktur, transportasi, komunikasi, perpustakaan, lengkapnya toko buku, hingga kerapnya digelar pelatihan dan workshop bagi guru.

Dengan semua fasilitas tersebut, mestinya pahlawan tanpa tanda jasa di kota metropolis ini punya sesuatu yang lebih dibandingkan teman-temannya sesama guru yang ada di daerah lain. Terutama daerah pelosok dan kepulauan terpencil.

Tetapi, seiring ditetapkannya PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen bahwa semua guru harus memiliki kualifikasi akademik setidaknya S1 atau Diploma IV dan memiliki sertifikat pendidik. Guru di kota tak lagi bisa ‘menyombongkan diri’. Apalagi kalau menganggap guru Surabaya lebih unggul dibandingkan, misalnya guru Sumenep atau Pacitan. Karena kemampuan dan kompetensi guru dalam mengajar ada tolok ukurnya, yaitu sertifikasi.

Dan melihat hasil sertifikasi guru kouta 2006 dan 2007 yang dikeluarkan Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), kita pasti tercengang. Selama tiga kali uji portofolio yang dilaksanakan antara bulan September hingga Desember 2007, jumlah guru di Surabaya yang tidak lulus alias gagal angkanya selalu di atas 50 persen dari total peserta sertifikasi.

Sertifikasi kuota 2006, dari 571 guru SD dan SMP yang berkas portofolionya dinilai tim asesor, yang lulus hanya 228 orang, sementara 342 (59,8 persen) tidak lulus. Jumlah guru yang tidak lulus semakin tinggi pada sertifikasi kuota 2007. Dari 796 berkas portofolio guru TK dan SD diuji, yang lulus hanya 270 orang, sementara 511 orang (64,1 persen) dinyatakan gagal.

Jebloknya hasil sertifikasi guru Surabaya tersebut semakin lengkap ketika hasil sertifikasi guru SMP, SMA, SMK, dan SLB kouta 2007 diumumkan. Dari 1.091 berkas portofolio peserta yang diuji, yang lulus hanya 450 (41,25 persen). Sementara yang tidak lulus 597 orang (54,72 persen). Rinciannya, untuk guru SMP dari 459 peserta yang lulus 200 (43,57 persen) dan gagal 250 (54,47 persen). SMA dari 375 peserta yang lulus 148 (39,47 persen) dan gagal 207 (55,20 persen). SMK dari 224 peserta yang lulus 88 (39,29 persen) dan gagal 125 (55,80 persen). Dan guru SLB dari 33 peserta yang lulus 14 (42,42 persen) dan tidak lulus 15 (45,45 persen). Jumlah tersebut belum termasuk 36 guru harus melengkapi berkas, lima berkasnya harus diklarifikasi, dan tiga berkas lainnya dibatalkan.

Hasil tersebut menempatkan Surabaya sebagai daerah dengan jumlah guru terbanyak yang tidak lulus uji portofolio dibandingkan guru di 14 kabupaten/kota di Jatim yang berkas portofolionya dinilai tim asesor Unesa. Daerah itu masingmasing, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Jombang, Nganjuk, Tuban, Bangkalan, Bojonegoro, Bangkalan, Sampang, Sumenep, Mojokerto, dan Kota Mojokerto. Fakta itu sekaligus mementahkan prediksi sejumlah kalangan bahwa guru di daerah perkotaanlah yang punya peluang paling besar lulus uji berkas portofolio.

Jebloknya hasil sertifikasi guru Surabaya tersebut sebenarnya sudah bisa diperkirakan 27 September lalu. Ketika tim independen Unesa melakukan uji kompetensi terhadap 70 persen lebih guru SMP dan SMA pengajar mata pelajaran yang diunaskan - bahasa Indonesia, matematika, dan bahasa Inggris. Uji kompetensi ini permintaan dari Dinas Pendidikan Surabaya mereaksi jebloknya hasil Unas 2007. Hasilnya, dari 1.725 peserta - 1.125 guru SMP dan 600 guru SMA– sekitar 40 persennya masuk katagori kurang memuaskan dalam mengajar tiga pelajaran yang diunaskan.

Hasil uji kompetensi tersebut membuat melek mata masyarakat pendidikan di Surabaya. Bahwa penyebab siswa gagal Unas tidak bisa ditimpakan sepenuhnya ke siswa. Kurang memadainya SDM alias kompetensi guru juga faktor yang tak bisa dikesampingkan.

Mereaksi rendahnya kompetensi guru, Dinas Pendidikan Surabaya mencoba membuat program percepatan peningkatan SDM guru mulai 2008. Bentuknya dengan menggelar super crash program dan continous education. Sekitar Rp 5 miliar uang rakyat dipakai membiayai program ini.

Sikap reaktif tersebut menunjukkan ‘gagalnya’ pembinaan dan peningkatan kompetensi guru yang dilakukan selama ini. Bahkan bisa dipastikan program itu tak akan muncul kalau tidak ada sertifikasi kompetensi guru. Padahal di negara lain, seperti Jepang UU Sertifikasi sudah ada sejak 1949 meskipun UU Guru baru ditetapkan 1974.

SMPN2 BOJONEGORO KEBANGGAANQ

SMPN 2 Bojonegoro terletak didalam kota Bojonegoro tepatnya berada di JL. Dr. Wahidin No. 82 yang mana sangat srtategis apabila dijadikan Rintisan Sekolah Berbasis Internasinal. Animo masyarakat sangat tinggi terhadap sekolah terbukti setiap tahun pelajaran sekolah tidak mampu manampung pendaftar sehingga dengan terpaksa sekitar 30 % pendaftar tidak bisa diterima di SMPN 2 Bojonegoro.

Salah satu unsur penunjang dalam upaya peningkatan mutu pendidikan adalah sarana prasarana dan perangkat lunak atau software yang memadai. Apalagi dalam proses pembelajaran berbasis bilingual yang banyak diekpresikan dengan pembelajaran CTL berbasis ICT. Menurut teori G Peagot bahwa tahapan operasional berfikir pada usia SMP akan lebih sempurna apabila dalam proses belajar dibantu dengan alat bantu berupa benda konkrit agar daya ingat anak akan lebih lama berdasarkan pengalaman yang ia lakukan. Atas teori tersebut dianggap sangat perlu apalagi diera globalisasi informasi seperti ini teknologi sangat diperlukan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan bertaraf internasional.

SMP Negeri 2 Bojonegoro menjadi Sekolah Standar Nasional sudah 3 tahun dan sudah saatnya meningkat menjadi taraf Internasional, mengingat daya dukung lingkungan yang memadai yaitu letak geografis sekolah yang berada di tengah-tengah kota sangat strategis untuk dikembangkan menjadi sekolah bertaraf Internasional. Selain letak strategis juga didukung oleh sumber daya siswa yang memadai sehingga memungkinkan untuk dikelola secara profesional yang pada akhirnya benar-benar dapat menjadi sekolah yang berkualitas. Yang tak terlupakan adalah kemampuan dari pengelola sekolah yang besiap diri untuk maju mengejar ketinggalan dengan SMPN tetangga yang sudah lebih dulu menjadi sekolah bertaraf Internasional.

Minggu, 02 November 2008

Kepala sekolahku bapak Bambang sutejo berangkat menjadi CJH 2008


Akhirnya Bapak Bambang Sutedjo yang adalah kepala se4kolas SMPN 2 Bojonegoro dapat membanggakan sekolah dan memberikan citra baik untuk sekolah anak2 spendabo bangga karena beliau dapat berangkat CJH2008. tidak hanya itu saja kami sekeluarga spendabo juga dapat menyaingi saningan2 yang kelihatannya berat dan memiliki target tinggi. tidak hanya itu beliau telah membawa nama SMPN2 Bojonegoro menuju RSBI semoga, bapak B.B. SUTEDJO dapat meraih sukses yang dapat menjulangkan nama SMPN2 BOJONEGORO

Sabtu, 01 November 2008

za> guruku yang BERprestasIII


namanya pak Rasmadi dia terkenal sebagai guru yang kreatif, maka aku bangga guru favoritku itu bisa menggondol sebuah penghargaan yang tak terduga yang dapat di unjuk gigikan kepada smpn1 bojonegoro yang nominasinya adalh pesaing yang akhirnya dapat di luluhkan oleh guru kita tersebut.... maka saya harap anak2 di smp 2 jga jangan kalah sama kreatifitas pak ras donk,...,, karena kalau anak2dapat membuat karya ilmiah seperti pak ras, pasti smp2 tak kalah dengan smp yang lain